Perseteruan antara penjualan dengan pemasaran sudah menjadi rahasia umum di kalangan dunia bisnis. Tidak saja dalam kondisi “susah” namun juga dalam kondisi “senang”. Masing-masing ingin diakui sebagai pihak yang memiliki kontribusi yang paling besar. Orang pemasaran akan mengklaim bahwa karena produknya bagus maka produk mudah untuk dijual. Di lain pihak orang penjualan merasa paling kerja keras dalam menjual produk siang malam dan ingin diakui keberadaanya.
Namun sebaliknya ketika produk ini gagal dipasaran, tidak ada satu pun yang mau mengaku salah, bahkan malah saling menyalahkan. Manajer pemasaran menyalahkan manajer penjualan yang dianggap kurang becus dalam menjual produk. Sebaliknya manajer penjualan menyalahkan manajer pemasaran yang tidak bisa membuat produk bagus, kemasan kurang menarik, dsb. Mengapa prasangka dan skeptisisme ini muncul?
Jawabannya adalah karena keduanya sama-sama tidak mau belajar dan merasa paling paham mengenai bidangnya masing-masing. Manajer penjualan tidak mau belajar konsep pemasarn karena merasa paling tahu tentang pasar dan merasa paling tahu pelanggan-tahu kebutuhan, keinginan, hasrat, dan pola konsumsinya. Padahal apa yang disebut manajer penjualan sebagai pemahaman pasar tidak lebih hanya pemahaman subyektif pelanggan per individu. Manajer pemasaran yakin bahwa kebanyakan penjual menderita marketing myopia akibat terlalu fokus memperhatikan kebutuhan dan keinginan para kliennya sehingga tidak peka pada kebutuhan pasar seluruhnya, dan tidak tahu arah perkembangan persaingan, pasar, dan pelanggan masa depan.
Sebaliknya, manajer pemasaran merasa tidak mau memahami pola pikir penjualan dan mempelajari konsep penjualan karena penjualan menurut pemasar tidak lebih dari berkata-kata manis (happy talk), menggunakan tida kata sakti yakni “helo, silakan, terima kasih. Jika diibaratkan oleh Bapak Hermawan Kertajaya, penjual itu ada di bumi dan pemasar terbang dengan balon udara. Kemudian masing-masing bertanya : Mengapa kamu disitu, apa yang kamu lihat disitu? Karena masing-masing tidak tahu apa yang dilihat rekannya.
Dulu ketika lingkungan bisnis belum sekompleks sekarang, dikotomi pemasaran dan penjualan tidak menimbulkan efek samping. Pemasar berkutat dengan konsep dan analisis, penjual berkutat dengan pelanggan di lapangan. Namun begitu kondisi lingkungan bisnis berubah akibat perkembangan teknologi, meningkatnya persaingan, dan berubahnya kebutuhan, keinginan, dan pola mengkonsumsi pelanggan, pemasar dan penjual tidak bisa lagi berada dalam suasana perang dingin. Sebaliknya mereka harus mengisi kelemahan masing-masing layaknya sebuah puzzle.
Karena pemasar berada di atas balon yang dapat melihat permukaan bumi lebih luas, maka tugasnya adalah memberi tahu keadaan lingkungan bisnis secara umum-kemana arah perubahan bergerak, bagaimana tingkat persaingan, bagaimana pola perilaku pelanggan, dan dimana posisi perusahaan. Sementara penjual yang ada di bumi dapat melihat permukaan bumi lebih detail, meskipun terbatas pada wilayah tertentu, harus memberitahu kondisi detail di wilayahnya-apa saja manuver yang dilakukan pesaing, bagaimana pelanggan menyikapi iklan dan pubilisitas yang ditayangkan, berapa tingkat harga produk yang wajar, dan lain sebagainya. Dengan saling mengisi kekurangan data dan informasi, maka efektivitas strategi dan akselerasi eksekusi dapat berjalan optimal.
*) Dikutip dari buku “Integrating Sales & Marketing” karya Hermawan Kertajaya