Menata Kembali Gerakan Mahasiswa

on 05.05

Gerakan mahasiswa membutuhkan ideologi sebagai energi gerakan, namun, ideologi gerakan saja tidak cukup. Masih banyak varian energi gerakan yang lain yang perlu dibenahi. Sehingga dalam setiap langkah geraknya, gerakan mahasiswa tidak kehilangan standing awal serta memiliki napas panjang dalam mengawal regulasi dan mewadahi aktifitas mahasiswa yang sustainable serta penuh dengan tantangan. Mengutip Brian Yuliarto (www.brianyuliarto.com) yang menawarkan beberapa suplemen sebagai energi gerakan. Pertama, memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat pergerakan. Tujuan akhir sebuah pergerakan selayaknya dipahami secara utuh oleh seluruh angota gerakan, atau dalam bahasa manajemennya dikatakan sebagai kemampuan share vision. Kedua, mampu menjaga ritme gerakan dalam artian mengetahui kapan pergerakan harus bergerak cepat, kapan bergerak lambat atau bahkan tidak melakukan gerakan. Ritme pergerakan ini juga termasuk di dalamnya adalah konsistensi gerakan. Ketiga, mampu melihat permasalahan dengan baik. Keempat, memiliki pemimpin yang berkarakter. Pemimpin bukanlah segala-galanya bagi sebuah pergerakan, tetapi pemimpin yang tidak memiliki karakter kuat adalah awal kehancuran bagi sebuah gerakan.

Gerakan mahasiswa yang dikomandoi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa dalam sejarahnya tercatat sukses mengawal pemerintahan ini. Selain mampu memobilisir masa mahasiswa dalam jumlah yang besar untuk melakukan kritik terhadap kebijakan para elit politik, keberadaan Lembaga Kemahasiswaan dapat menjadi penyeimbang kebijakan rektorat dalam tataran kampus. Sehingga lembaga kemahasiswaan yang merupakan wakil mahasiswa adalah mitra sejajar dengan birokrasi.

Dalam tataran Fakultas, gerakan mahasiswa di wadahi oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Pun demikian dengan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) memiliki wadah pergerakan mahasiswa dalam BEM Fateta. Mewakili komunitas masyarakat Fateta tentunya banyak hal penting yang wajib dijalankan sesuai dengan fungsinya yang bersifat eksekutif. Dari mulai permasalahan pengawalan kebijakan dekanat, sensitivitas terhadap masyarakat sekitar, sampai kepada permasalahan klasik yaitu departementalisasi. Namun sampai saat ini seolah memaksa kita untuk mengambil sebuah kesimpulan bahwa Kelembagaan Mahasiswa Fateta menjadi bagian kelembagaan yang mengalami disorientasi nilai. Indikasi terhadap kebenaran ini dapat diperhatikan dari tingkat kepuasan masyarakat Fateta yang belum secara menyeluruh merasakan keberadaan fungsi dari BEM Fateta ini.

Ada beberapa fenomana menarik yang penulis temui selama tergabung dalam kelembagaan mahasiswa di IPB sejak 2006 silam. Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Namun tidak semua pengurus mampu melakoninya dengan baik, apalagi mengakhirinya dengan indah dan prestatif. Adalah sebuah kewajaran jika ketika menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan lantas dekat dengan para pengambil kebijakan, namun yang menjadi masalahnya adalah ketika kedekatan itu terjalin karena hitung-hitungan pragmatis. Menjadi bagian dari kelembagaan mahasiswa harus siap (mental) untuk menghadapi kritikan. Jika kiranya sudah kebal dengan itu semua maka bersiap-siaplah untuk dicap sebagai penjilat.

Fenomena lain yang dapat diperhatikan saat ini adalah munculnya perilaku primordial di kalangan mahasiswa. Salah satu perilaku primordial yang dominan mewarnai interaksi kemahasiswaan adalah ego fakultas, bahkan ego departemen. Di Fateta sendiri, ruang dilaetika antara sesama lembaga kemahasiswaan justru hampir tidak menemukan ruangnya. Sehingga menyebabkan munculnya jurang pembatas antara kelembagaan mahasiswa yang satu dengan yang lainnya teramat jauh. Boleh jadi hal ini muncul dari ruang pengkaderan kita yang cenderung departementalisasi serta doktrin yang teramat kebablasan dalam komunitas tertentu. Bukankah kita berada dalam ruang universal yang disebut dengan Fakultas Teknologi Pertanian? Oleh karenanya, kenapa kita tidak mencoba membangun sebuah metode pengkaderan yang menghargai nilai-nilai kebrsamaan? Sehingga dengan demikian melahirkan kebersamaan yang totalitas, serta menghargai perbedaan.

Selain itu juga, persoalan pelik yang menimpa lembaga-lembaga kemahasiswaan kita adalah terlalu berlama-lama pada permasalahan internal. Bahkan tak jarang permasalahan internal ini dianggap menjadi sesuatu yang biasa sebagai tantangan internal yang membumbui pergerakan kelembagaan, hingga lupa uintuk diselesaikan. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika kelembagaan mahasiswa justru gagal menemukan titik temu dalam membangun wacana gerakan. Maka dapat dipastikan bahwa gerakan yang dibangun adalah gerakan kesepian yang tidak menghasilkan output yang sigifikan dirasakan oleh publik mahasiswa.

Menyikapi permasalah kelembagaan mahasiswa sekarang dengan berbagai problematikanya, kelembagaan mahasiswa harus harus pandai menjaga daya juangnya. Energi gerakan yang cenderung fluktuatif harus senantiasa dijaga kadar dan kualitasnya. Selain dengan menambahkan suplemen energi gerakan yang dukemukakan oleh Brian Yuliarto di atas, penulis juga mencoba memberikan solusi mendasar yang dikutip dari sebuah artikel yang anonim. Kembali kita diingatkan bahwasannya gerakan mahasiswa secara hakiki adalah gerakan yang mengedepankan intelektual dan jauh dari radikalisme. Gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Traditio :

Pertama terbangun di atas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi baik pra atau pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya sebagai ciri khas gerakan mahasiswa. sehingga, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu yang diusung oleh gerakan mahasiswa

Kedua, terbangun di atas tradisi menulis (writing tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Sejak dulu sampai kini, tokoh dan intelektual bangsa Indonesia yang bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kritikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan.

Ketiga, terbangun di atas tradisi membaca (reading tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi pergerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepatnya pergerakan berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca. Kesibukan bukan alasan yang tepat untuk tidak membaca, dimana atau kapanpun kita bisa meluangkan waktu kita untuk membaca.

Harapan kita bersama adalah terciptanya kelembagaan mahasiswa yang sustainable, memiliki standing gerakan yang tidak pernah luntur oleh berjalannya waktu, serta berperan optimal dalam memberikan pelayanan masyarakat kampus. Sehingga di akhir perjuangan, terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat di mata dunia.

0 komentar:

Posting Komentar